DIKSIKU.com, Kutai Barat – Malam itu, Taman Budaya Sendawar di Kutai Barat bukan sekadar ruang pertunjukan. Selasa (24/6/2025), ia menjelma menjadi panggung semesta, tempat denyut kebudayaan dan semangat kemandirian petani-nelayan berpadu dalam Festival Gita Nusantara. Di bawah sorot lampu dan lantunan nada, ratusan pasang mata larut dalam harmoni seni tradisi yang mengalir dari berbagai penjuru Kalimantan Timur.
Festival ini menjadi bagian dari rangkaian Pekan Daerah (PEDA) XI Petani-Nelayan, yang kali ini mengusung semangat pelestarian budaya lokal sekaligus penguatan peran ekonomi kerakyatan. Dari lomba paduan suara yang menggema hingga lenggak-lenggok tari tradisional dan peragaan busana etnik, semuanya menghadirkan identitas daerah dalam balutan kreativitas.
Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ekti Imanuel, yang turut hadir malam itu, menyoroti kekuatan simbolik dari acara ini. Menurutnya, ketika budaya naik panggung dan disandingkan dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat, di situlah letak kekuatan sejati pembangunan daerah.
“Pertunjukan ini lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah cermin bagaimana masyarakat menjaga jati diri sekaligus bergerak menuju kemandirian,” ungkap Ekti yang juga Ketua KTNA Kutai Barat, usai menyaksikan penampilan dari berbagai kontingen kabupaten dan kota.
Deretan peserta dari Kutai Barat, Mahakam Ulu, Paser, Bontang hingga Kutai Kartanegara bukan hanya menunjukkan kemampuan seni mereka. Mereka membawa semangat kolektif untuk meneguhkan kembali nilai-nilai gotong royong dan kearifan lokal yang tak lekang waktu.
Festival Gita Nusantara juga menjadi pembuka untuk berbagai kegiatan produktif lainnya. Sehari sebelumnya, pada Senin (23/6), kawasan Lamin Melayu menjadi tuan rumah lomba wirausaha petani dan nelayan. Di sana, bukan hanya hasil panen atau tangkapan laut yang ditampilkan, tapi juga inovasi dalam pengemasan, strategi pemasaran, hingga nilai tambah dari setiap produk lokal.
Bagi Ekti, ajang ini tak sekadar menampilkan hasil. Ia menjadi ruang pembelajaran, pertukaran ide, dan pengakuan atas kapasitas petani dan nelayan sebagai pilar ekonomi desa yang kreatif.
“Ini tentang menggeser paradigma. Petani dan nelayan tak hanya menghasilkan, tapi juga menjadi inovator dan penggerak ekonomi lokal,” jelasnya.
Ia menambahkan, PEDA XI memberi pesan kuat bahwa pembangunan tak melulu soal beton dan angka, tetapi juga tentang merawat akar budaya serta membuka jalan tumbuh bagi ekonomi rakyat berbasis komunitas.
Ketika seni dan usaha lokal saling menguatkan, lanjut Ekti, maka yang dibangun bukan hanya daya saing daerah, tetapi juga ketahanan sosial yang kokoh di tengah derasnya modernisasi. (Adv)

Penulis : Ldy
Editor : Rahmah M.