DIKSIKU.com, Samarinda – Isu degradasi lingkungan kembali mendapat sorotan tajam dari parlemen daerah. Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Sarkowi V Zahry, menilai bahwa sikap permisif terhadap perusahaan-perusahaan yang terus melanggar aturan lingkungan hanya akan memperparah krisis ekologis yang sedang dihadapi daerah ini.
Menurut Sarkowi, sudah saatnya pemerintah provinsi keluar dari zona nyaman dan mengambil langkah konkret terhadap perusahaan yang berkali-kali mendapat penilaian buruk dalam aspek kepatuhan lingkungan. Ia menegaskan, meski izin operasional berada di tangan pemerintah pusat, Pemprov tetap memiliki ruang untuk menunjukkan sikap tegas melalui rekomendasi pencabutan izin.
“Kalau terus dibiarkan, pelanggaran akan dianggap biasa. Rekomendasi pencabutan izin adalah bentuk sikap politik dan tanggung jawab moral daerah terhadap rakyat dan lingkungan,” tegasnya, Senin (23/6/2025).
Bagi politisi Golkar ini, pembiaran terhadap pelanggaran lingkungan bukan sekadar kegagalan birokrasi, tapi juga pengkhianatan terhadap masa depan generasi berikutnya. Ia menekankan, konsekuensi dari kerusakan ekologis bukan hanya statistik di atas kertas, melainkan derita nyata yang dirasakan warga—mulai dari banjir, pencemaran udara, hingga hilangnya sumber daya air bersih.
Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Sarkowi mengajak semua pihak menjadikan momen ini sebagai titik balik kesadaran kolektif. Ia menolak anggapan bahwa peringatan tersebut sekadar menjadi ajang seremonial tanpa tindak lanjut nyata.
“Kita tidak butuh janji, tapi aksi. Kesadaran harus tumbuh dari rumah hingga kantor pemerintahan,” katanya.
Ia juga menyoroti pengelolaan sampah dan sanitasi, dua persoalan krusial yang masih kerap terabaikan. Soal sampah plastik, Sarkowi menilai bahwa membangun kebiasaan memilah sejak dari rumah tangga adalah langkah dasar, namun fundamental. Menurutnya, pemerintah harus menyusun strategi edukasi yang berkelanjutan, bukan sekadar imbauan sesaat.
Tak kalah penting, Sarkowi menyinggung kondisi sanitasi di bantaran Sungai Mahakam, di mana sebagian masyarakat masih bergantung pada jamban apung. Ia memahami bahwa perubahan perilaku ini tak bisa dipaksakan secara instan, mengingat keterkaitannya dengan budaya yang telah berlangsung lama.
“Transformasi semacam ini harus didekati dengan edukasi dan kesabaran. Seperti peralihan dari telepon umum ke ponsel dulu, butuh proses yang terus didampingi,” ungkapnya.
Ia mendorong agar pendekatan kultural dan pendidikan jangka panjang menjadi pilar dalam solusi persoalan lingkungan, bukan semata pembangunan infrastruktur. Karena, bagi Sarkowi, menjaga bumi bukan hanya tugas teknis, tetapi peradaban yang mesti dibangun bersama. (Adv)

Penulis : Ldy
Editor : Rahmah M.