DIKSIKU.com, Samarinda – Prosedur yang panjang dan biaya yang membengkak masih menjadi batu sandungan bagi masyarakat Kalimantan Timur dalam mengurus izin pertambangan dan sertifikasi tanah. Kondisi ini dikhawatirkan mendorong praktik ilegal dan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Sigit Wibowo, menyoroti langsung dua persoalan utama: rumitnya proses izin galian C dan tingginya beban biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam program sertifikasi tanah.
“Dokumen sudah lengkap, Amdal juga beres, tapi izin galian C tetap saja mandek. Ini bukan sekadar masalah birokrasi, tapi soal bagaimana negara hadir memfasilitasi warganya,” ujar Sigit, Selasa (15/7/2025).
Menurutnya, ketika masyarakat yang berniat beraktivitas secara legal justru dipersulit, maka tak heran jika sebagian tergoda untuk menambang tanpa izin. Hasilnya? Daerah kehilangan potensi pemasukan, sementara aktivitas tak terpantau berisiko merusak lingkungan.
Sigit mengingatkan, kini kewenangan perizinan galian C berada kembali di bawah pemerintah provinsi. Ia mendorong agar proses perizinan bisa dipangkas tanpa mengabaikan aspek legalitas dan lingkungan. Ia juga menekankan pentingnya koordinasi antarinstansi, termasuk aparat penegak hukum, agar kegiatan pertambangan rakyat tetap terpantau dan memberi kontribusi bagi daerah.
“Lebih baik mereka diawasi secara legal, daripada dibiarkan jalan sendiri tanpa kendali,” tegasnya.
Tak hanya pertambangan, Sigit juga menyoroti kekecewaan warga terhadap program sertifikasi tanah. Meski disebut sebagai program nasional yang memudahkan akses kepemilikan lahan, kenyataannya banyak warga terkejut dengan tingginya biaya BPHTB di akhir proses.
“Banyak yang mengira tinggal tunggu sertifikat jadi, ternyata harus bayar BPHTB yang nominalnya tak sedikit. Ini jadi beban baru, bahkan menunda legalitas tanah mereka,” katanya.
Ia menyayangkan bahwa semangat pelayanan sering kali berhenti di tataran program, namun tak tercermin dalam pelaksanaan di lapangan. Ketika birokrasi terlalu berbelit dan tidak ramah warga, kepercayaan pun perlahan luntur.
“Warga akhirnya memilih urus sendiri, meski bingung dan sering terjebak calo. Ini peringatan bagi kita bahwa sistem perlu dibenahi secara serius,” ucapnya.
Sigit menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pelayanan publik, terutama di sektor yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat. Ia berharap seluruh pihak, termasuk instansi vertikal seperti BPN, ikut menyelaraskan diri dengan semangat reformasi pelayanan nasional. (Adv)

Penulis : Ldy
Editor : Rahmah M.