DIKSIKU.com, Bombana – Pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, kini menghadapi krisis serius akibat gempuran industri pertambangan nikel yang masif sejak awal tahun 2000-an.
Pulau yang dahulu dikenal sebagai pusat kebudayaan maritim dengan peninggalan sejarah berupa benteng tua, watusangia (batu sakral), hingga tradisi musik ore-ore, perlahan kehilangan wajah aslinya.
Data Kementerian ESDM mencatat lebih dari 50 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pernah dikeluarkan di wilayah Bombana, dengan mayoritas beroperasi di Kabaena.
Aktivitas tersebut memicu kerusakan lingkungan, mulai dari hutan yang gundul, sungai keruh dan tercemar, pesisir laut dipenuhi lumpur tambang, hingga abrasi yang merusak lahan warga.
Namun, kerusakan ekologis bukan satu-satunya dampak yang dikhawatirkan. Hasil ekspedisi lapangan Suara Sunyi yang dilakukan oleh Ikatan Mahasiswa Pecinta Ilmu Budaya (IMPIB) Makassar mengungkap terjadinya krisis identitas pada generasi muda Kabaena.
“Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan hutan dan laut, tetapi juga kehilangan jiwa Kabaena itu sendiri yakni generasi muda yang seharusnya menjadi penjaga warisan leluhur,” ujar Mulkian Pawra, anggota tim ekspedisi, dalam siaran pers yang diterima media ini, Kamis (4/9/2025).
Temuan ekspedisi menunjukkan setidaknya tiga perubahan utama. Pertama, partisipasi pemuda dalam ritual adat menurun drastis. Jika pada dua dekade lalu hampir setiap pemuda terlibat dalam upacara penghormatan watusangia atau benteng tua, kini hanya segelintir yang ikut serta.
Kedua, hilangnya ruang belajar budaya akibat rusaknya lokasi-lokasi sakral. Situs yang dahulu menjadi sekolah alam bagi anak muda kini tertutup aktivitas tambang.
Ketiga, meningkatnya ketergantungan pada sektor pertambangan. Survei kecil yang dilakukan tim ekspedisi memperlihatkan sebagian besar pemuda lebih memilih bekerja di tambang ketimbang melanjutkan pendidikan atau menjaga tradisi.
Situasi tersebut menimbulkan generasi yang gamang. Mereka tidak lagi teguh memandang diri sebagai pewaris budaya sakral, namun juga belum menemukan jati diri dalam dunia industri tambang. Krisis identitas ini membuat nilai-nilai leluhur semakin terpinggirkan.
Musik ore-ore, cerita rakyat, dan upacara adat kian jarang dilakukan, sementara simbol-simbol alam yang dulu dijaga dengan penuh hormat berubah menjadi komoditas ekonomi.
Sebagai langkah mitigasi, IMPIB Makassar mendorong adanya upaya revitalisasi budaya lokal, perlindungan kawasan sakral, serta pendidikan kritis bagi generasi muda agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan identitas budaya.
Penulis : Hendra
Editor : Idhul Abdullah