DIKSIKU.com, Samarinda – Alih-alih menyelesaikan persoalan pelik dalam dunia pendidikan, kebijakan pemerintah pusat yang mengganti istilah PPDB menjadi SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru) justru dianggap hanya mengganti kulit tanpa menyentuh inti permasalahan. Hal ini ditegaskan Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan.
Menurutnya, perubahan istilah yang rencananya diterapkan mulai 2025 ini tidak akan berdampak signifikan jika ketimpangan infrastruktur, daya tampung sekolah negeri, hingga minimnya akses pendidikan di daerah tertinggal masih diabaikan.
“Masalah kita bukan di nama, tapi di realitas lapangan. Mengganti istilah tanpa menyentuh ketimpangan struktural justru menambah kebingungan masyarakat,” tegas Agusriansyah, Selasa (1/7/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menilai pendekatan teknokratis yang diambil pemerintah terlalu fokus pada format dan administrasi, sementara substansi keadilan sosial sebagaimana amanat konstitusi, sering kali terpinggirkan.
“Kalau sistem malah memperbesar jurang antarwilayah, itu sudah menyimpang dari prinsip keadilan. Tidak semua daerah punya kesiapan yang sama, tapi dipaksa ikut pola yang seragam,” katanya.
Agusriansyah mengungkapkan, di banyak wilayah Kalimantan Timur, sekolah negeri masih kekurangan guru, belum memiliki sarana layak, bahkan lokasinya jauh dari pemukiman. Dalam situasi seperti itu, kebijakan satu sistem nasional justru memperbesar kesenjangan.
“Di satu sisi ada sekolah yang kelebihan peminat, di sisi lain ada sekolah yang kekurangan murid dan tenaga pengajar. Tapi semuanya diperlakukan dengan pendekatan yang sama. Ini keliru,” ujarnya.
Alih-alih hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat, ia mendorong Pemprov Kaltim agar mulai menyusun regulasi turunan yang lebih adaptif terhadap kondisi lokal. Ia menyebut perlunya Peraturan Gubernur atau bahkan Perda yang dirancang berbasis kearifan dan kebutuhan daerah.
“Kaltim harus punya pijakan sendiri dalam mengelola sistem penerimaan siswa. Kebijakan nasional bisa dijadikan referensi, tapi eksekusinya harus mempertimbangkan realitas di daerah,” katanya.
Ia juga menolak pendekatan birokratis seperti penambahan rombongan belajar sebagai solusi utama, karena menurutnya hal itu justru cenderung mengabaikan kualitas dan distribusi pemerataan layanan.
Agusriansyah berharap polemik tahunan terkait penerimaan siswa baru bisa dihentikan lewat kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat, terutama yang berada di wilayah pinggiran dan tertinggal.
“Yang kita butuhkan bukan sekadar reformulasi istilah, tapi reformulasi keadilan dalam sistem pendidikan kita,” pungkasnya. (adv)
Penulis : Ldy
Editor : Idhul Abdullah