DIKSIKU.com, Samarinda – Di tengah gencarnya implementasi program pendidikan gratis di Kalimantan Timur, persoalan mendasar kembali mencuat: keterlambatan pembayaran gaji guru, khususnya bagi tenaga pendidik non-PPPK. Situasi ini menuai sorotan dari Komisi IV DPRD Kaltim, yang menilai kesejahteraan guru tidak boleh dikorbankan demi euforia program populis.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattolongi, menegaskan bahwa pendidikan gratis seperti program Gratispol patut diapresiasi, tetapi tidak boleh dijadikan dalih untuk mengabaikan hak-hak dasar para guru dan kelengkapan fasilitas pendidikan.
“Pendidikan gratis tidak boleh membuat kita lupa pada fondasi utamanya: kualitas guru dan sarana penunjang pembelajaran. Jangan sampai semangat gratis justru merusak nilai pendidikan itu sendiri,” ujar Darlis, Jumat (27/6/2025).
Menurutnya, kualitas pendidikan tak bisa dilepaskan dari kesejahteraan guru. Gaji yang tertunda, kata Darlis, bukan hanya soal administrasi, tetapi berpengaruh langsung terhadap motivasi dan profesionalisme para pendidik, baik di kota maupun pelosok.
“Peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dari perhatian terhadap hidup layak guru dan dosen. Mereka bukan hanya mesin pengajar, tapi manusia yang butuh dihargai secara adil,” tegasnya.
Darlis juga menyoroti nasib guru honorer atau tenaga non-PPPK yang selama ini menjadi tulang punggung di banyak sekolah, namun kerap terpinggirkan dari sisi perhatian dan perlindungan sosial.
“Mereka memang bukan ASN, tapi mereka berdiri di garis depan pendidikan kita. Pemerintah daerah punya kewajiban moral dan administratif untuk memastikan hak mereka terpenuhi,” katanya.
Ia menyampaikan kekhawatiran terkait kekacauan data tenaga pendidik, yang menjadi salah satu akar masalah dalam distribusi dan pengakuan kesejahteraan. Berdasarkan hasil kunjungan Komisi IV ke kementerian terkait, ditemukan adanya ketidaksesuaian antara data yang dilaporkan oleh sekolah dan kondisi riil di lapangan.
“Banyak sekolah menyembunyikan keberadaan guru honorer dari sistem pelaporan resmi demi mengejar akreditasi. Ini realita pahit di balik sistem yang terlalu menekankan angka ketimbang kejujuran,” bebernya.
Darlis menyebut, dalam beberapa kasus, guru honorer yang setiap hari aktif mengajar justru tak tercatat dalam sistem karena dianggap bisa ‘menurunkan’ penilaian sekolah.
“Inilah ironi kita, yang mengajar tak diakui, yang berjasa justru dihilangkan dari data. Kita butuh keberanian untuk mengubah cara pandang ini,” ucapnya.
Untuk itu, ia mendesak agar basis data pendidik segera diperbarui dan dijadikan landasan kebijakan yang adil. Menurutnya, pembangunan sektor pendidikan harus dimulai dari pengakuan, perlindungan, dan keberpihakan terhadap semua tenaga pendidik, terlepas dari status kepegawaiannya.
“Kalau kita ingin pendidikan di Kaltim maju dan merata, kita harus adil dari hulu ke hilir. Jangan sampai perjuangan mendapat akreditasi mengorbankan para guru yang seharusnya kita junjung tinggi,” tutup Darlis. (Adv)

Penulis : Ldy
Editor : Rahmah M.