DIKSIKU.com, Samarinda – Ribuan anak di Kalimantan Timur terpaksa menghentikan pendidikan mereka, meski provinsi ini dikenal memiliki potensi ekonomi yang besar.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sebanyak 9.945 anak tercatat sebagai Anak Tidak Sekolah (ATS).
Fenomena ini memicu perhatian serius dari DPRD Kaltim yang menilai bahwa persoalan utama bukan sekadar biaya sekolah, melainkan beban hidup yang sulit ditanggung keluarga kurang mampu, terutama di wilayah pedalaman.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, mengungkapkan bahwa penyebab utama banyaknya Anak Tidak Sekolah (ATS) bukanlah semata mahalnya uang sekolah, tapi tekanan hidup yang menghimpit keluarga-keluarga dari daerah pelosok.
“Seringkali kita terlalu fokus pada biaya kuliah atau seragam. Padahal, untuk anak-anak dari pedalaman, tantangan terbesar justru bagaimana bisa bertahan hidup di kota,” tutur Darlis, Rabu (2/7/2025).
Menurutnya, kebutuhan seperti tempat tinggal, makan sehari-hari, dan transportasi jauh lebih memberatkan ketimbang biaya pendidikan itu sendiri, yang pada banyak kasus telah digratiskan oleh pemerintah.
Dengan rata-rata lama sekolah yang baru menyentuh 10,2 tahun, atau setara kelas 1 SMA, Kalimantan Timur dianggap belum mampu mengimbangi ambisi ekonominya dengan pembangunan sumber daya manusia yang solid.
Melihat kondisi itu, Darlis mendorong agar program-program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) lebih diarahkan ke kebutuhan harian pelajar, bukan hanya untuk membayar uang kuliah yang sebenarnya sudah tercakup dalam APBD.
“Kalau CSR hanya untuk UKT, itu tumpang tindih. Akan jauh lebih bermanfaat jika difokuskan untuk biaya hidup anak-anak kita yang belajar jauh dari rumah,” katanya.
Ia juga mengapresiasi kebijakan Pemprov yang telah menggratiskan UKT, seragam, dan buku sekolah. Namun menurutnya, program bantuan seperti ini harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pengajaran dan ketersediaan tenaga pendidik.
“Kalau sekolah gratis tapi gurunya tidak cukup atau fasilitasnya buruk, tujuan program itu bisa tidak tercapai. Harus ada keseimbangan antara akses dan kualitas,” ujarnya.
Darlis berharap pendekatan pendidikan di Kalimantan Timur tidak lagi berfokus pada seberapa banyak anak bisa sekolah, tetapi pada seberapa siap mereka menjalani masa depan setelah lulus.
“Pendidikan bukan soal hadir di kelas, tapi soal menciptakan masa depan. Kita harus bantu mereka, bukan hanya dengan seragam, tapi juga dengan harapan yang nyata,” pungkasnya. (adv)

Penulis : Ldy
Editor : Idhul Abdullah