DKSIKU. com, Bone, Nama KH. Syamsuddin tercatat sebagai salah satu ulama berpengaruh di Bone, Sulawesi Selatan, yang meninggalkan warisan penting dalam bidang dakwah dan pendidikan Islam. Kehadirannya dalam sejarah keagamaan masyarakat Bone tidak hanya terletak pada kiprah pribadinya, tetapi juga pada keberlanjutan perjuangan yang diteruskan oleh putra-putranya. Di antara bukti konkret dari jejak dakwah tersebut adalah penguatan tradisi keislaman di Kelurahan Lonrae, sebuah wilayah pesisir yang menjadi bagian dari dinamika penyebaran Islam di Bone.
Sejarah mencatat bahwa KH. Syamsuddin merupakan ayah dari KH. Abdullah Syamsuri, ulama yang dikenal aktif melanjutkan misi dakwah di Bone pada dekade 1960-an. Kehidupan Abdullah Syamsuri banyak ditempa oleh pendidikan langsung dari ayahnya, baik melalui pengajian di rumah maupun pengalaman mendampingi dalam berbagai kegiatan keagamaan. Dengan demikian, peran KH. Syamsuddin dapat dipandang sebagai fondasi yang melahirkan generasi penerus ulama yang tangguh.
Pada tahun 1968, KH. Abdullah Syamsuri pindah ke Kelurahan Lonrae. Di tempat inilah ia melanjutkan misi dakwah ayahnya. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah merehabilitasi sebuah langgar sederhana menjadi masjid permanen yang diberi nama Masjid An-Nur’Ain. Meskipun proses rehabilitasi dilakukan oleh sang anak, spirit pembangunan itu sesungguhnya merupakan kesinambungan dari gagasan dakwah yang ditanamkan KH. Syamsuddin.
Masjid An-Nur’Ain di Lonrae kemudian menjadi pusat kegiatan keagamaan yang sangat berarti bagi masyarakat setempat. Kehadirannya tidak hanya sebagai tempat salat berjamaah, tetapi juga sebagai arena pendidikan Islam, majelis taklim, serta ruang silaturahmi umat. Semua ini merupakan bagian dari jejak KH. Syamsuddin yang diwariskan melalui putranya dan menjadi bukti bahwa dakwah tidak berhenti pada satu generasi saja, melainkan terus mengalir dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman.
Keterkaitan antara KH. Syamsuddin dan Lonrae dapat ditelusuri melalui tradisi keluarga ulama yang menekankan pentingnya melayani umat. Abdullah Syamsuri, sebagai penerus, memandang perjuangannya bukan sekadar usaha pribadi, melainkan amanah dari ayahnya. Hal ini menunjukkan bahwa jejak KH. Syamsuddin di Lonrae lebih bersifat transgenerasional: hadir dalam nilai-nilai, dalam keteladanan, dan dalam struktur sosial-keagamaan yang kemudian terbangun.
Lonrae, sebagai kawasan pesisir, memiliki posisi strategis dalam perkembangan dakwah Islam di Bone. Wilayah ini menjadi pintu masuk aktivitas ekonomi dan sosial, sehingga masjid yang dibangun di sana memegang fungsi yang lebih luas daripada sekadar tempat ibadah. Jejak KH. Syamsuddin melalui anaknya memperlihatkan bahwa dakwah senantiasa menyesuaikan diri dengan kondisi sosial masyarakat, sekaligus menjaga identitas keislaman yang kuat.
Pengakuan atas jasa KH. Syamsuddin di Lonrae dapat pula dilihat dari adanya penamaan jalan di wilayah tersebut dengan nama beliau. Penamaan ini menandakan adanya penghormatan dan ingatan kolektif masyarakat terhadap seorang ulama yang telah memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan Islam di Bone. Toponimi semacam ini berfungsi sebagai penanda sejarah yang memperkuat ikatan antara masyarakat dengan warisan ulama.
Meskipun tidak banyak sumber tertulis yang secara langsung merinci biografi KH. Syamsuddin, jejaknya tetap bisa ditangkap melalui kisah-kisah lisan, keberlanjutan karya anak keturunannya, serta peninggalan fisik berupa masjid yang berdiri hingga kini. Sejarah lokal Bone membuktikan bahwa peran ulama tidak selalu terekam dalam catatan formal, tetapi lebih sering hidup dalam ingatan sosial dan warisan spiritual masyarakat.
Dengan demikian, Lonrae menjadi salah satu titik penting dalam peta dakwah Islam di Bone. Di sana, pengaruh KH. Syamsuddin tetap hidup melalui kiprah generasi penerus dan institusi keagamaan yang ia wariskan. Hal ini menunjukkan bahwa dakwah bukan hanya soal menyampaikan ajaran, tetapi juga menciptakan struktur kelembagaan yang dapat menopang kehidupan beragama secara berkelanjutan.
Kisah KH. Syamsuddin juga memperlihatkan pentingnya keluarga ulama dalam menjaga kesinambungan dakwah. Relasi ayah dan anak antara Syamsuddin dan Abdullah Syamsuri merupakan contoh konkret bagaimana nilai-nilai Islam dapat diturunkan sekaligus diterjemahkan dalam bentuk karya nyata. Jejak di Lonrae membuktikan bahwa peran keluarga dalam pendidikan Islam sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat luas.
Warisan KH. Syamsuddin di Lonrae juga relevan untuk dibaca dalam konteks moderasi beragama. Melalui masjid yang dibangun dan kegiatan dakwah yang diwariskan, umat diarahkan untuk mengembangkan sikap religius yang toleran, terbuka, dan penuh kasih sayang. Hal ini sekaligus menjadi benteng moral yang penting dalam menghadapi dinamika sosial yang terus berubah.
Bagi masyarakat Bone, khususnya di Lonrae, nama KH. Syamsuddin bukan hanya simbol sejarah, melainkan bagian dari identitas mereka. Ingatan terhadap ulama ini menegaskan bahwa masyarakat senantiasa membutuhkan figur panutan yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga membangun ruang sosial yang damai dan harmonis.
Jika kita menengok perjalanan sejarah Islam di Bone, maka jejak KH. Syamsuddin di Lonrae menjadi bagian integral yang tak bisa diabaikan. Meskipun informasinya terbatas, signifikansi perannya terlihat jelas dalam proses transformasi sosial-keagamaan di wilayah tersebut. Dari sebuah langgar kecil hingga masjid megah, dari keteladanan pribadi hingga pengakuan kolektif, semuanya menjadi mosaik yang memperkaya khazanah sejarah lokal.
Pada akhirnya, Lonrae tidak hanya menyimpan jejak fisik KH. Syamsuddin, tetapi juga menghadirkan semangat perjuangan yang menembus generasi. Masjid An-Nur’Ain berdiri sebagai saksi bisu perjalanan dakwah, sementara penamaan jalan menjadi tanda bahwa jasa beliau tetap hidup dalam memori masyarakat. Inilah bukti nyata bahwa seorang ulama sejati tidak pernah benar-benar pergi; jejaknya akan terus menyala dalam denyut kehidupan umat.
Penulis : Zaenuddin Endy Koordinator Instruktur Pendidikan Kader Penggerak NUsantara (PKPNU) Sulawesi Selatan
Editor : Wahyunang