DIKSIKU.com, Jakarta – Sejumlah mahasiswa perantau mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK), berharap untuk mendapatkan kemudahan saat mencoblos di Pilkada mendatang.
Gugatan ini muncul dari keresahan para mahasiswa yang khawatir tidak bisa menggunakan hak pilih mereka karena berada jauh dari alamat di KTP.
Gugatan tersebut diajukan oleh 11 mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang berasal dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Dalam risalah sidang MK, tercatat nama-nama mereka sebagai pemohon:
- Satrio Anggito Abimanyu (Jakarta)
- Sabri Khatami Can (Malut)
- Siti Iran Badryah (Sulteng)
- Yoga Pebriansyah (Sumsel)
- Muhammad Ihsan Almadani (Kalsel)
- Aulia Shifa Salsabila (Jateng)
- Dzaky Al Fakhri (Tangerang)
- Ariq Faiq Muyassar (Tangerang)
- Khrisna Adam Yustisio (Yogyakarta)
- Djenar Maesa Ayuka (Yogyakarta)
- Nasywa Yustisia Azzahra (Yogyakarta)
Gugatan ini telah terdaftar dengan nomor perkara 137/PUU-XXII/2024, dan sidang perdana berlangsung pada Jumat, 4 Oktober 2024.
Alasan di Balik Gugatan
Para pemohon menilai bahwa pelaksanaan Pilkada serentak seharusnya memudahkan semua warga, termasuk mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di luar daerah asal. Mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa aturan yang ada saat ini akan menghalangi hak suara mereka.
“Pemilu kepala daerah dilakukan secara serentak, dan penyelenggara harus melayani hak pilih setiap warga negara, termasuk mereka yang tidak berdomisili di alamat TPS terdaftar,” ujar pengacara pemohon dalam persidangan.
Dalam sidang, pemohon mengajukan dua usulan untuk dipertimbangkan MK. Pertama, mereka meminta agar penyelenggara Pemilu mendata pemilih perantau dan menyediakan surat suara di TPS tertentu untuk mereka. Usulan kedua menyatakan agar mahasiswa perantau dianggap pindah domisili, sehingga dapat memberikan suara di TPS daerah tujuan.
Petitumnya yang Menarik Perhatian
Pemohon menginginkan agar MK:
- Mengabulkan permohonan mereka secara keseluruhan.
- Menyatakan bahwa frasa “di tempat lain” dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang 1/2015 bertentangan dengan UUD 1945.
- Menyatakan bahwa frasa “di TPS lain” dalam Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang 1/2015 juga bertentangan dengan UUD secara bersyarat.
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Nasihat dari Hakim MK
Hakim MK, Arsul Sani, memberikan nasihat kepada para pemohon, mengingatkan mereka untuk mempertimbangkan alternatif lain, seperti sistem e-voting. “E-voting bisa jadi solusi untuk permasalahan ini. Kita harus mendorong pemilu yang lebih modern dan efisien,” ujarnya.
Gugatan ini menyoroti ketidaknyamanan yang dihadapi mahasiswa perantau dalam menggunakan hak suara mereka dan menunjukkan upaya untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang sama dalam pemilihan umum, di mana pun mereka berada.
Penulis : Redaksi Diksiku
Editor : Idhul Abdullah
Sumber Berita : detikcom