DIKSIKU.com, Bontang – Rencana ambisius pembangunan pabrik bahan peledak di Kota Bontang kembali menjadi bahan perbincangan. Di tengah klaim sebagai proyek strategis nasional, kalangan legislatif justru menyoroti persoalan paling mendasar, yakni legalitas.
PT Bontang Nitra Perkasa (BNP), perusahaan yang mengusung proyek ini, disebut belum sepenuhnya merampungkan proses perizinan. Hal ini memantik reaksi keras dari DPRD Kota Bontang, yang menuntut agar pemerintah tidak membiarkan proyek besar ini melangkah tanpa kepastian hukum.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Bontang, Winardi, menyuarakan kekhawatiran terkait potensi pelanggaran prosedur. Ia meminta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) segera menyelidiki kelengkapan dokumen, terutama yang berkaitan dengan bangunan dan lingkungan.
“Keselamatan publik dan kepastian investasi tak boleh dikompromikan. Jangan sampai industri jalan dulu, izin belakangan,” tegasnya.
Winardi juga mengaitkan proyek ini dengan PT Black Bear Resources Indonesia, yang disebut sebagai entitas induk dari BNP. Ia mendorong pemerintah untuk tak segan memberikan peringatan atau bahkan sanksi jika ditemukan pelanggaran.
“Ketegasan adalah bukti bahwa pemerintah daerah punya wibawa. Kalau semua dibiarkan, perusahaan akan mulai semaunya sendiri,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala DPM-PTSP Bontang, Aspianur, menyatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti instruksi DPRD. Tim akan diturunkan untuk melakukan inspeksi ke lokasi dan memverifikasi dokumen yang dibutuhkan.
“Tidak hanya pabrik bahan peledak, semua investasi besar akan kami pastikan sesuai prosedur, termasuk proyek pabrik Soda Ash,” ujarnya.
Sebagai informasi, pabrik milik BNP ini rencananya akan memproduksi amonium nitrat dan asam nitrat dalam skala besar, masing-masing 180 ribu dan 140 ribu ton per tahun. Proyek ini sempat mendapat perhatian dari Kementerian Pertahanan karena dianggap strategis untuk mendukung kemandirian bahan peledak nasional.
Namun, bagi DPRD Bontang, besar dan pentingnya proyek bukan alasan untuk menomorduakan kepatuhan hukum. (adv/RE)
Editor : Idhul Abdullah