DIKSIKU.com, Bontang – Tenggat waktu penghapusan tenaga honorer yang ditetapkan pemerintah pusat semakin dekat. Di Bontang, ribuan tenaga non-ASN di lingkungan pemerintah kota dipastikan akan mengakhiri masa tugasnya pada 30 Juni 2025. Meski situasi ini memicu kekhawatiran di berbagai daerah, Pemkot Bontang justru dianggap telah mengambil langkah antisipatif yang berpihak pada para honorer.
Arfian Arsyad, pemerhati kebijakan publik di Bontang, menyatakan bahwa Pemkot tidak sekadar mengikuti regulasi, melainkan turut menyiapkan alternatif solusi yang dinilai realistis dan berkeadilan. Ia menilai, kebijakan ini menunjukkan adanya kepedulian terhadap keberlanjutan nasib ribuan tenaga honorer yang terdampak.
“Saya melihat Pemkot tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan skema transisi yang cukup masuk akal dan patut mendapat dukungan,” kata Arfian, Sabtu (22/6/2025).
Salah satu skema yang disiapkan adalah pengalihan peran honorer ke dalam sistem pengadaan barang dan jasa melalui Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ). Dengan kontrak kerja berbasis e-katalog, para tenaga non-ASN tetap dapat terlibat dalam pekerjaan pemerintah secara sah, tanpa perlu masuk dalam pola outsourcing yang selama ini banyak menuai kritik.
Menurut Arfian, pendekatan ini lebih layak dan memberikan kepastian kerja, meskipun dalam struktur yang berbeda dari sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga membuka opsi bagi honorer yang ingin beralih ke sektor kewirausahaan.
“Pemerintah memberi peluang bagi yang ingin berwirausaha. Ini bentuk diversifikasi solusi. Ada pelatihan, pendampingan, hingga dukungan permodalan yang sudah mulai disiapkan,” ujarnya.
Meski demikian, Arfian mengingatkan bahwa setiap jalur yang ditawarkan memiliki tantangan tersendiri. Oleh karena itu, ia mendorong para honorer untuk lebih memahami potensi dan minat pribadi sebelum menentukan pilihan.
“Pemerintah sudah membuka jalan. Tapi pilihan ada di tangan para honorer. Mereka perlu bersikap tegas dan fokus pada jalur yang mereka tempuh,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran aktif setiap perangkat daerah dalam mendampingi proses transisi ini. Menurutnya, komunikasi yang jelas dan terbuka sangat dibutuhkan agar tidak ada tenaga honorer yang merasa kebingungan atau tertinggal dalam proses.
“Transisi ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Dibutuhkan kepemimpinan yang hadir dan terlibat. OPD harus memastikan informasi sampai kepada semua pihak yang terdampak,” tandasnya.
Dengan pendekatan bertahap dan berbasis pilihan rasional ini, Arfian optimistis bahwa penghentian status honorer tidak harus diartikan sebagai krisis. Sebaliknya, ini bisa menjadi momentum bagi para tenaga non-ASN untuk menemukan peran baru yang lebih sesuai dengan potensi mereka di luar sistem lama. (adv)
Penulis : Mra
Editor : Idul Abdullah